selamat datang di TOPHOKI,..Top isinya,,, Hoki terus rasanya....

Selasa, 13 Maret 2012

Tingkat Korupsi di Indonesia Masih Tinggi - Analisis Politik Indonesia



MENGAPA TINGKAT KORUPSI DI INDONESIA MASIH TINGGI

ANALISIS POLITIK INDONESIA

OLEH:
 HEPY RISKA ILHAM
14010110141046
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2010/2011


DINAMIKA KORUPSI DI INDONESIA

Seiring dengan ada beberapa perubahan-perubahan yang telah terjadi pada tubuh institusi negara Indonesia, khususnya pada eksekutif dan legislatif. Serta hubungan antara lembaga eksekutif dengan legislative. Pertama, eksekutif bersama dewan mempunyai kekuasaan penuh untuk membuat kebijakan-kebijakan  dan kedua, anggota dewan memiliki kekuasaan penuh dan mempunyai peluang besar dalam proses legislasi. Kewenangan dewan dalam membuat kebijakan tidak terbatas hanya dalam memilih kepala daerah, tetapi juga berwenang membuat undang-undang, pengawasan, investigasi, dan bersama-sama dengan eksekutif menyusun APBN yang sebelumnya tidak pernah dilakukan.
Implikasi lain dari kekuasaan penuh adalah pelimpahan dana ini dibarengi dengan dilaksanakannya reformasi penganggaran dan reformasi sistem akuntansi keuangan nasional. Reformasi penganggaran yang terjadi adalah munculnya paradigma baru dalam penyusunan anggaran yang mengedepankan prinsip akuntabilitas publik, partisipasi masyarakat, dan transparansi anggaran. Disamping itu, anggaran harus dikelola dengan pendekatan kinerja (performance oriented), prinsip efisien dan efektif (Value For Money), keadilan dan kesejahteraan dan sesuai dengan disiplin anggaran (Mardiasmo, 2003).
            Namun, euforia hal tersebut ternyata banyak memunculkan dampak negatif. Menurut Khudori (2004) salah satu yang menonjol adalah munculnya "kejahatan institusional". Baik eksekutif maupun legislatif seringkali membuat peraturan yang tidak sesuai dengan logika kebijakan publik. Jika kejahatan institusional itu dipraktikkan secara kolektif antara eksekutif dan legislatif. Legislatif yang mestinya mengawasi kinerja eksekutif justru ikut bermain dan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan cara yang "legal". "Legal" karena dilegitimasi dengan keputusan.
Menurut Gustav Radbruch ada 3 nilai dasar hukum yaitu keadilan, kemamfaatan dan kepastian hukum. Keadilan berorientasi pada hukum yang ideal (filosofis), kemamfaatan berorintasi pada hukum yang diterima oleh masyarakat (sosiologis) dan kepastian hukum berorintasi pada legalitas formalnya hukum sebagai suatu kaidah yang telah ditetapkan (yuridis).
Dewasa ini hukum dalam penegakannya, terhadap  ketiga nilai dasar diatas menjadi perbincangan yang hangat, terjadi gesekan antar nilai yang ada. Pada satu sisi aparat penegak hukum lebih menonjolkan kepastian hukum (legalitas formal) sebagaimana tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Pada sisi lain masyarakat berteriak minta keadilan karena ada penjahat kelas kakap tidak ditangkap sedangkan penjahat kelas teri begitu gampang ditangkap (diproses hukum). Adanya rasa keadilan masyarakat terusik seperti kasus cicak buaya, kasus semangka, kasus kakao, kasus kapas, prita sebagai contoh bahwa hukum dinegara ini hanya menerapkan pasal-pasal untuk menghukum atau tidak menghukum. Ini membuktikan ada perlakuan tidak sama dimuka hukum, terutama ketika hukum berhadapan dengan politik dan penguasa(http://tiarramon.wordpress.com/page/4/).
Menurut Bernardi (1994) istilah korupsi juga dapat diartikan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Sementara Hermien H.K. (1994) mendefinisikan korupsi sebagai kekuasaan tanpa aturan hukum. Oleh karena itu, selalu ada praduga pemakaian kekuasaan untuk mencapai suatu tujuan selain tujuan yang tercantum dalam pelimpahan kekuasaan tersebut.
Syed H. Alatas yang pernah meneliti korupsi sejak Perang Dunia Kedua menyebutkan, esensi korupsi adalah melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan.
Beliau membagi korupsi ke dalam tujuh macam, yaitu korupsi transaksi, memeras, investif, perkerabatan, defensif, otogenik dan dukungan. Indonesia berusaha untuk memberantas korupsi sejak 1950-an dengan mendirikan berbagai lembaga pemberantas korupsi, terakhir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) suatu “ superbody ” dengan kewenangan istimewa.
Berbagai macam undang-undang anti korupsi juga sudah dibuat,dan pada UU NO 31 TAHUN 1999 juga sudah jelas tentang hukum tindak pidaha korupsi, bahkan disertai dengan hukuman maksimal, yaitu hukuman mati. Walaupun demikian, kondisi korupsi di Indonesia masih tetap parah. Menurut Transparansi Internasional, pada akhir tahun 2005, indeks persepsi korupsi di Indonesia naik dari 2,0 menjadi 2,2 (indeks persepsi dari 1 sampai 10). Angka ini menunjukkan yang terendah di Asia Tenggara, dan berarti Indonesia adalah negara terkorup dibanding Filipina , Thailand , Malaysia , Singapura , Brunei dll. Menurut Bank dunia, volume kegiatan ekonomi dunia pada tahun 2005 sebesar USD33 triliun, dan USD 1 triliun di antaranya dipergunakan untuk menyuap dan melakukan kegiatan merugikan pemerintah. (http://tiarramon.wordpress.com/2009/12/09/alasan-banyak-orang-korupsi/).
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa korupsi begitu merajalela di Indonesia?


ANALISA
A.    PENGERTIAN KORUPSI
Korupsi dalam bahasa latin corrumpere, sedangkan secara harfiahnya korupsi sering diartikan dengan kebusukan, kejahatan, ketidak jujuran, tidak bermoral, penyimpangan dari arti kesucian, dapat di suap. Poerwadarminto juga mengatakan bahwa korupsi adalah suatu perbuatan yang buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan suap, dll.
B.     POLA KORUPSI
Baswir (1993) menjelaskan ada 7 pola korupsi yang sering dilakukan oleh oknum-oknum pelaku tindak korupsi baik daari kalangan pemerintah maupun swasta. Ketujuh pola tersebut meliputi : (1) pola konvensional, (2) pola upeti, (2) pola komisi, (4) pola menjegal order, (5) pola perusahaan rekanan, (6) pola kuitansi fiktif dan (7) pola penyalahgunaan wewenang. Untuk menanggulangi terjadinya korupsi yang bermacam-macam jenisnya ini diperlukan strategi khusus dari semua bidang, meskipun untuk menghilangkan sama sekali praktik korupsi adalah sesuatu yang mustahil, tertapi setidaknya-tidaknya ada upaya untuk menekan terjadinya tindak korupsi. Strategi yang dibentuk hendaknya melibatkan seluruh lapisaan masyarakat dan pejabat struktur pemerintahan.
C.     FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KORUPSI
            Terjadinya korupsi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (1) sistem pemerintahan dan birokrasi yang memang kondusif untuk melakukan penyimpangan, (2) belum adanya sistem kontrol dari masyarakat yang kuat, dan belum adanya perangkat peraturan dan perundang-perundangan yang tegas.
 Menurut Arifin (2000) faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah: aspek prilaku individu organisasi,  aspek organisasi, dan  aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada. Sementara menurut Lutfhi (2002) faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah: motif, baik motif ekonomi maupun motif politik,  peluang, dan  lemahnya pengawasan. 
1.      Aspek Prilaku individu
 Apabila dilihat dari segi pelaku korupsi, sebab-sebab dia melakukan korupsi dapat berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula dikatakan sebagai keinginan, niat, atau kesadaran untuk melakukan. Sebab-sebab manusia terdorong untuk melakukan korupsi antara lain :sifat tamak manusia, moral yang kurang kuat menghadapi godaan, penghasilan kurang mencukupi kebutuhan hidup yang wajar, kebutuhan hiduop yang mendesak, gaya hidup konsumtif, tidak mau bekerja keras, ajaran-ajaraan agamaa kurang diterapkan secara benar.
Dalam teori kebutuhan Maslow, demikian dikatakan Sulistyantoro (2004) korupsi seharusnya hanya dilakukan oleh orang untuk memenuhi dua kebutuhan yang paling bawah dan logika lurusnya hanya dilakukan oleh komunitas masyarakat yang pas-pasan yang bertahan hidup, namum saat ini korupsi dilakukan oleh orang kaya, pendidikan tinggi.
2.      Aspek Organisasi Kepemerintahan
Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi atau dimana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi karena membuka peluang atau kesempatan untuk terjadinya korupsi (Tunggal, 2000). Bilamana organisasi tersebut tidak membuka peluang sedikitpun bagi seseorang untuk melakukan korupsi, maka korupsi tidak akan terjadi. Aspek-aspek penyebab terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi ini meliputi kurang adanya teladan dari pimpinan, tidak adanya kultur organisasi yang benar, sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai, manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya.
3.      Aspek Peraturan Perundang-Undangan
Tindakan korupsi mudah timbul karena ada kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan, yang dapat mencakup: adanya peraturan perundang-undangan yang monolistik yang hanya menguntungkan kerabat dan “konco-konco” presiden,  kualitas peraturan perundang-undangan kurang memadai,  peraturan kurang disosialisasikan,  sangsi yang terlalu ringan,  penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu,  lemahnya bidang evalusi dan revisi peraturan perundang-undangan.
Lembaga-lembaga ekskutif, dalam melakukan praktek korupsinya tidak selalu berdiri sendiri, akan tetapi melalui suatu kosnpirasi dengan para pengusaha atau dengan kelompok kepentingan lainnya misalnya, dalam hal penentuan tender pembangunan yang terlebih dahulu pengusaha menanamkan saham kekuasaannya lewat proses pembiayaan pengusaha dalam terpilihnya menjadi pemimpin eksekutif(presiden/bupati/walikota) tersebut. Kemudian mereka secara bersama-sama dengan DPR, presiden membuat kebijakan  yang koruptif yang hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat yaitu para kolega, keluarga maupun kelompoknya sendiri. Dengan kemampuan lobi kelompok kepentingan dan pengusaha kepada pejabat publik yang  berupa uang sogokan, hadiah, hibah dan berbagai bentuk pemberian yang mempunyai motif koruptif telah berhasil membawa pengusaha melancarkan aktifitas usahanya yang berlawanan dengan kehendak masyarakat, sehingga masyarakat hanya menikmati sisa-sisa ekonomi kaum borjuasi atau pemodal yang kapitalistik.
 Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya korupsi APBN sangat mungkin jika aspek peraturan perundang-undangan sangat lemah atau hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Hal senada juga dikemukakan oleh Basyaib, dkk (2002) yang menyatakan bahwa lemahnya sistem peraturan perundang-undangan memberikan peluang untuk melakukan tindak pidana korupsi.
4.      aspek Pengawasan
Pengawasan yang dilakukan instansi terkait  kurang bisa efektif karena beberapa faktor, diantaranya; adanya tumpang tindih pengawasan pada berbagai instansi, kurangnya profesionalisme pengawas,  kurang adanya koordinasi antar pengawas,  kurangnya kepatuhan terhadap etika hukum maupun pemerintahan oleh pengawas sendiri.
hal ini sering kali para pengawas tersebut terlibat dalam praktik korupsi. belum lagi berkaitan dengan pengawasan ekternal yang dilakukan masyarakat dan media juga lemah, dengan demikian  menambah deretan citra buruk pengawasan APBN yang sarat dengan korupsi. Hal inis sejalan dengan pendapatnya Baswir (1996) yang mengemukakan bahwa negara kita yang merupakan birokrasi patrimonial dan negara hegemonik tersebut menyebabkan lemahnya fungsi pengawasan, sehingga merebaklah budaya korupsi itu.
Secara umum pengawasan terbagi menjadi dua, yaitu pengawasan internal (pengawasan fungsional dan pengawasan langsung oleh pimpinan) serta pengawasan bersifat eksternal (pengawasan dari legislatif dan masyarakat). Dimana pengawasan ini kurang bisa efektif karena adanya beberapa faktor, diantaranya adanya tumpang tindih pengawasan pada berbagai instansi, kurang profesionalismenya pengawas serta kurangnya kepatuhan pada etika hukum maupun pemerintahan oleh pengawas sendiri. Dan berkaitan dengan hal ini pengawas sendiri sering kali terlibat dalam praktek korupsi.
Sementara menurut Fadjar (2002) pola terjadinya korupsi dapat dibedakan dalam tiga wilayah besar yaitu ;
Pertama, Mercenery abuse of power, penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh orang yang mempunyai suatu kewenangan tertentu yang bekerjasama dengan pihak lain dengan cara sogok-menyogok, suap, mengurangi standar spesifikasi atau volume dan penggelembungan dana (mark up). Penyalahgunaan wewenang tipe seperti ini adalah biasanya non politis dan dilakukan oleh level pejabat yang tidak terlalu tinggi kedudukannya.
Kedua, Discretinery abuse of power, pada tipe ini penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat yang mempunyai kewenangan istimewa dengan mengeluarkan kebijakan tertentu misalnya keputusan presiden/walikorta/bupati atau berbentuk peraturan negara keputusan yang biasanya menjadikan mereka dapat bekerjasama dengan kawan/kelompok (despotis) maupun dengan keluarganya (nepotis).
Ketiga, Idiological abuse of power, hal ini dilakukan oleh pejabat untuk mengejar tujuan dan kepentingan tertentu dari kelompok atau partainya. Bisa juga terjadi dukungan kelompok pada pihak tertentu untuk menduduki jabatan strategis di birokrasi/lembaga ekskutif, dimana kelak mereka akan mendapatkan kompensasi dari tindakannya itu, hal ini yang sering disebut politik balas budi yang licik. Korupsi jenis inilah yang sangat berbahaya, karena dengan praktek ini semua elemen yang mendukung telah mendapatkan kompensasi.
Faktor lainnya menurut Fadjar (2002) adalah tindak lanjut dari setiap penemuan pelanggaran yang masih lemah dan belum menunjukkan “greget” oleh pimpinan instansi. Terbukti dengan banyaknya penemuan yang ditutup secara tiba-tiba tanpa alasan yang jelas serta tekad dalam pemberantasan korupsi dan dalam penuntasan penyimpangan yang ada dari semua unsur tidak kelihatan. Disamping itu kurang memadainya sistem pertanggungjawaban organisasi pemerintah kepada masyarakat yang menyebabkan banyak proyek yang hanya sekedar pelengkap laporan kepada atasan.

D.    FAKTOR PENCEGAHAN TINDAKAN KORUPSI
Korupsi yang terus menerus menjadi sorotan media, baik media masa maupun elektronik menunjukkan tentang betapa besar/tingginya tindakan korupsi di Indonesia serta seberapa pengaruhnya terhadap Negara.
Pemerintah juga sudah mengupayakan untuk bagaimana meminimalkan tindakan korupsi dengan membuat undang-undang tentang tindak pidana korupsi No/13/1999. Serta yang baru pada periode presiden susilo bambang yudhoyono juga membentuk sebuah badan kerja baru yaitu komisi pemberantasan korupsi(KPK), sebagai bagian pembantu presiden dalam memberantas korupsi di Indonesia.
a.       Undang-undang no 13 tahun 1999 Undang-undang anti korupsi di buat pemerintah 
Secara umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah pernyataan tentang rencana pendapatan dan belanja negara dalam periode tertentu (1 tahun). Pada awalnya fungsi APBN adalah sebagai pedoman pemerintah pusat khususnya dalam mengelola keuangan negara untuk satu periode. Selanjutnya, sebelum anggaran dijalankan harus mendapat persetujuan dari DPR RI sebagai wakil rakyat maka fungsi anggaran juga sebagai alat pengawasan dan pertanggungjawaban terhadap kebijakan publik. Dengan melihat fungsi anggaran tersebut maka seharusnya anggaran merupakan power relation antara eksekutif, legislatif dan rakyat itu sendirI
            Kondisi yang yang seperti diatas memicu beberapa kecenderungan. Pertama,, adanya jargon dari pemerintah pusat yang begitu kuat untuk meningkatkan akuntablitas dalam rangka pendapatan negara. Dengan demikian bagi beberapa daerah yang miskin SDA akan memilih menggali PAD dengan meningkatan pajak. Bagi daerah kaya sekalipun meningkatkan pajak adalah alternatif yang paling mudah karena tidak perlu melakukan banyak investasi dibandingkan jika mengekplorasi SDA. Oleh karena itu tidak heran bila kecenderungan meningkatkan pajak ini terjadi di banyak daerah bahkan daerah yang kaya sekalipun.
Dengan mengingat bahwa tingkat korupsi birokrasi daerah di Indonesia masih tinggi, hal ini ditunjukkan dalam survey kecenderungan korupsi birokrasi yang diselenggarakan oleh PERC. Pada tahun 1999, angka kecenderungan korupsi birokrasi menunjukkan angka 8,0 dari skala 0-10. Dimana angka nol berarti mutlak bersih dan 10 berarti mutlak memiliki kecenderungan korupsi. Dan satu tahun kemudian, tahun 2000, angka ini tidak mengalami perbaikan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka meningkatkan PAD akan lebih baik bila diprioritaskan dengan cara mengurangi kebocoran pendapatan pemerintah daerah yang selama ini ada bukan dengan cara meningkatkan pajak karena akan menyengsarakan rakyat (Ardyanto, 2002)
Kedua, otoritas yang sangat besar bagi DPR untuk menyusun APBN dan menyusun anggaran untuk DPR sangat memungkinkan terjadinya korupsi APBN karena tidak ada pengawasan yang sistematis kecuali jika rakyat mempunyai kesadaran yang tinggi. Dengan demikian kembali pada kenyataan bahwa anggaran adalah power relation maka kemungkinan terjadinya suap (bribery) terhadap DPR untuk menyetujui pos anggaran tertentu yang tidak dibutuhkan rakyat sangat mungkin terjadi.
Secara teoritis Tanzi (1998) menunjukkan terjadinya korupsi APBN dipengaruhi oleh faktor permintaan dan faktor penawaran. Dari sisi permintaan dimungkinkan karena adanya regulasi dan otorisasi yang memungkinkan terjadinya korupsi,  karakteristik tertentu dari sistem perpajakan, dan  adanya provisi atas barang dan jasa di bawah harga pasar. Sedangkan dari sisi penawaran dimungkinkan terjadi karena tradisi birokrasi yang cenderung korup,  rendahnya gaji di kalangan birokrasi,  kontrol atas institusi yang tidak memadai, dan transparansi dari peraturan dan hukum. Lebih Lengkap lihat catatan atas kelompok Anggaran (Helmi, Ahmad dkk, 2002).
b.      Komisi pemberantasan korupsi(KPK).


KESIMPULAN
Korupsi di Indonesia terjadi karena bermacam-macam alasan. Salah satunya pejabat melakukan korupsi di sebabkan memang apabila tidak dilakukan oleh pejabat, menurutnya berdampak pada terjadinya kerugian pada dirinya. Selain ada tutuntan dari pihak-pihak tertentu yang menginginkan dirinya untuk korupsi dan membagi-bagi hasil korupsi tersebut kepada pihak yang di anggap sangat membantu dalam mendapatkan sebuah jabatan pada suatu posisi tertentu. Juga faktor  Biaya politik yang semakin mahal.Untuk seseorang bisa terpilih menjadi pejabat public membutuhkan modal sebagai biaya politik yang sangat besar dan ini juga merupakan salah satu pangkal praktik korupsi di Indonesia sulit turun, “Salah satu pangkal mengapa korupsi masih tinggi di Indonesia adalah mahalnya seseorang bisa terpilih jadi pejabat publik,” kata Wicaksono kepada pers, di Istana Wapres Jakarta, Senin (28/2).
Korupsi Karena kebutuhan (need corruption) terjadi terutama karena sistem yang kurang baik, misalnya, sistem pegawai negeri sipil (PNS), terutama sistem penggajian pegawai negeri sipil yang sangat rendah. Korupsi ini diberantas dengan tindakan perbaikan sistem PNS itu sendiri.Sementara, korupsi karena kerakusan (greedy corruption) lebih banyak disebabkan karena ketamakan dan mental yang rusak. Ini harus diperbaiki dengan upaya penindakan, yaitu penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.Di Indonesia banyak korupsi yang “terpaksa” dilakukan karena kebutuhan hidup sehari-hari, walaupun korupsi karena ketamakan cukup banyak juga. Biasanya korupsi jenis pertama ini jumlahnya tidak besar dibandingkan korupsi jenis kedua.
Sikap, mental dan budaya yang di miliki seorang pegawai/pejabat juga sangat besar perannya dalam mempengaruhi terjadinya korupsi, di samping juga adanya kesempatan yang memberikannya peluang untuk melakukan tindakan korupsi. Kesempatan untuk korupsi perlu dipersempit dengan memperbaiki sistem. Sementara niat untuk melakukan korupsi lebih banyak dipengaruhi oleh sikap mental atau moral dari para pejabat atau pegawai.
Seharusnya perbuatan yang merugikan orang lain ataua merugikan keuangan negara adalah juga perbuatan yang tidak sah atau haram, Karena sikap keliru inilah, banayak orang merasa tenang atau tidak merasa berdosa ketika melakukan korupsi. Banyak orang yang memiliki “kesalehan pribadi” tetapi kesalahan ini tidak tercermin dalam perilaku sosialnya. Sudah tentu, sikap ini sangat membahayakan dan dapat menyuburkan korupsi. Untuk itu diperlukan pelurusan definisi “sah dan tidak sah” atau “halal dan haram” di dalam kehidupan sehari-hari. Perlu diingatkan, bahwa semua tindakan yang merugikan orang lain dan keuangan negara adalah perbuatan tidak sah atau haram.
Di lain pihak, bagi anggota masyarakat, ada semacam nilai bahwa memberikan sesuatu kepada pejabat bukanlah perbuatan yang dilarang, baik pemberian itu diberikan sebelum atau sesudah urusannya dengan pejabat itu selesai. Sikap mental ini harus diubah. Perlu diingatkan, bahwa baik menurut hukum agama atau hukum nasional, orang yang menyuap atau disuap kedua-duanya.
Salah satu kelemahan  orang Indonesia, terutama pejabatnya, adalah kurang bisa membedakan urusan pribadi dan dinas. Antara keduanya sering tercampur, tidak ada batas yang jelas.Sering, urusan pribadi dengan bangga diselesaikan dengan fasilitas dinas atau negara, tetapi agak jarang urusan dinas diselesaikan dengan biaya pribadi. Di berbagai daerah di seluruh Indonesia, banyak ditemukan rekening-rekening pribadi untuk menampung dana yang berasal anggaran kantor.
Contoh lain, pejabat sering menyelenggarakan pesta perkawinan yang merupakan urusan pribadi dengan menggunakan fasilitas dinas atau negara dan panitianya orang-orang yang menjadi bawahan di kantor. Bahkan undangan yang disebarkan pun sering berlebihan jumlahnya, sehingga timbul dugaan apakah ia benar-benar ikhlas mengundang atau juga ingin mencari keuntungan atau gengsi. Keadaan ini meluas, baik di bidang legislatif, yudikatif dan eksekutif. Dengan tercampurnya dua urusan ini, kerugian negara secara otomatis dan sistematis pasti selalu terjadi.
Untuk melakukan pemberantasan korupsi, sudah tentu diperlukan aparatur pemerintahan, terutama penegak hukum, yang bersih. Menurut penilaian Transparansi Internasional, korupsi di Indonesia banyak terjadi di kalangan partai politik dan parlemen, dan di sektor penegakan hukum, baik kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.Sudah tentu, agak sulit memberantas korupsi dengan menggunakan “sapu yang kurang bersih”. Oleh karena aitu, pembersihan di sektor penegakan hukum haruslah menjadi prioritas utama. Di sini, harapan masyarakat banyak diberikan kepada KPK yang dianggap lebih memiliki integritas dibandingkan dengan penegak hukum lainnya. Untuk itu, KPK harus didukung sepenuhnya dan diberi kewenangan yanag lebih baik lagi, sehingga dapat melaksanakan tugasnya secara optimal. Misalnya, KPK yang selama ini tidak berwenang menyidik kasus tindak pidana pencucian uang, diberikan kewenangan untuk menyidik. Karena sebagian besar uang atau harta hasil korupsi hampir selalu di- laundering dengan cara menyembunyikan atau mengaburkan asal usulnya.
Keberhasilan pemberantasan korupsi juga banyak tergantung pada partisipasi masyarakat. Kalau masyarakat sudah mengubah budayanya dan bersikap “antikorupsi” maka situasi ini sudah cukup kondusif untuk memberantas korupsi.Partisipasi masyarakat juga dapat diberikan dalam bentuk “memboikot” setiap acara atau undangan dari pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi. Inilah hukuman masyarakat yang benar-benar efektif dan dirasakan para pelaku korupsi. Diharapkan juga, masyarakat dapat mengontrol pelaksanaan pemberantasan korupsi.